-->

Terduga Mafia Solar Akui, Semua di Ajak Koordinasi Kecuali Hansip

Foto; Salah satu SPBU di kota Watampone

Bone, Kabarpojok - Namanya Baba. Warga Kecamatan Bola ini mengaku baru tiga hari kembali turun ke gelanggang bisnis gelap solar subsidi. Namun, langkahnya langsung tercium. Dengan bekal surat rekomendasi, pungutan “biaya pompa”, dan jalur distribusi yang sudah ia hafal, Baba melenggang tenang di antara antrean jeriken dan kendaraan di SPBU Bone.

Semua sudah diajak berkoordinasi. “Hansip saja tidak kuajak koordinasi,” kata Baba, seperti disampaikan seorang sumber. Kalimat yang terdengar ringan, namun menyiratkan ia bukanlah pemain kecil meski baru terjun lagi.

Baba membeli solar subsidi seharga Rp 270 ribu per jeriken. Dari Bone, barang itu diangkut ke Wajo, lalu diteruskan menuju Morowali, Sulawesi Tengah. Ia tak berjalan sendirian. Ada jaringan lain. Mulai dari oknum aparat penegak hukum berinisial SA, HS, dan AR, hingga seorang kepala satpam kampus berinisial RU.

Seorang manajer SPBU membenarkan modus mereka yang bersembunyi di balik dokumen resmi.

“Ada surat rekomendasi, biasanya satu orang bawa dua surat. Makanya kami kasi,” ujarnya.

Di balik lembar rekomendasi itu, mengalir pungutan tambahan. Istilahnya biaya pompa. Nilainya Rp 10 ribu per jeriken.

Menurut keterangan salah satu pelaku lain, aktivitas penyelundupan solar subsidi biasanya meningkat di pertengahan tahun.

“Tergantung kebutuhan perusahaan,” katanya.

Arah distribusi pun tak berhenti di Morowali. Solar subsidi ini juga diduga mengalir ke Sulawesi Tenggara, melalui jalur Pallette yang kabarnya kini dihentikan sementara, hingga ke Pelabuhan Bajoe.

Pantauan di SPBU Karella hari ini memperlihatkan antrean panjang kendaraan. Di sisi lain, petugas SPBU malah tampak sibuk melayani jeriken dan mobil yang diduga menyelundup solar. Salah satunya berpelat putih DW 8889 XX.

Dengan jaringan yang rapi dan gerak cepat, Baba kembali menandai dirinya sebagai pemain yang tak bisa diremehkan di bisnis solar subsidi Bone. (*)

Komentar

Berita Terkini